>

Kepada Zaid

Zaid
Bila kau memanggilku lagi, zaid, sari tanah yang kini jauh itu, yang telah mengubur habis seluruh harapan sa'at aku tidur di dadamu : aku tetap tak akan bergeming, toh juga jejak jejak kita di pematang telah berkali kali di lenyapkan hujan, bukan?
kepergian ku dari jenggawah yang senantiasa kalah.

Ialah sabda luka kepada lu7ka berabad abad, yang harus ku tunaikan, bukan kah sudah kau saksikan sendiri, bagaimana pertikaian yang tak pernah kita ikuti, mengalahkan kita ?
dan lagi ketika belanda datang membuka perkebunan perkebunan baru, menjadi lengkaplah riwayat perampasan yang kita alami : kamar kita pun turut si bajak jadi lahan, dan kau terus memintaku melawan nya hanya dengan DO'A.

Pada malam pengusiran itu, di antara kebingungan seorang lelaki, ku ingat kau bertanya, mereka akan menanam tembakau, kenapa bukan jagung atau singkong???
Zaid, Katakan saja, kemana kita akan pergi??, tetapi kau hanya menatap puing tempat tinggal kita, lalu bergumam, menatap nya lagi, dan bergumam lagi, selebih nya sepi -mengepung kita, ada tarikan nafas cukup panjang, memang selepas Van kolonial terusir, namun itu cuma jeda.

Bagi kekalahan yang jauh lebih menanah, kita pulang sementara, sebab sebelum anak kita beranjak dewasa, para tentara bangsat, tengik, dari bangsa kita sendiri datang berdatangan minta nyawa, ku lihat kau masih terus berlari ke dalam hutan, punggungmu mengecil, ku dengar cikcik anak ayam piara'an kita, mungkin berlarian, diantara itu Zaid, kepalaku di tembaki, sam aku tersungkur.

Di luar Waktu, di luar segala cuaca, jadi bagaimana harus kupenuhu tiap panggilan mu?????
Tubuhku telah di bengkalai di tanah milik ku sendiri, tanpa nisan, dan setelah lama, ku pandangi seorang yang bicara dengan bahasa jawa berlogat madura, turun dari bus di geladak kembar, di atas sungai bedadung yang selalu keruh seakan sekeruh dendam, ia melirikmu : kau ulurkan tangan..... Minta Receh.... hehehehehehe.......

No comments:

Post a Comment